SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI TANAH LUWU
Sebelum agama Islam
masuk ke Tana Luwu, masyarakat mulanya menganut Animisme. Setelah sepuluh abad
lebih berdiri, kerajaan Luwu baru menerima agama Islam sekitar abad ke-15,
yaitu pada tahun 1593. Kerajaan Luwu merupakan kerajaan pertama di Sulawesi
Selatan yang menganut agama Islam. Agama Islam sendiri di bawa ke Tana Luwu
oleh Dato’ Sulaiman dan Dato’ ri Bandang yang berasal dari Aceh. Hal-hal mistik
banyak mewarnai proses awal masuknya Islam di Luwu. Diyakini bahwa Dato
Sulaiman dan Dato ri Bandang datang ke Luwu dengan menggunakan kulit kacang.
Mereka pertama kali tiba di Luwu tepatnya di desa Lapandoso, kecamatan Bua,
kabupaten Luwu.
Setelah sampai, Datu Sulaiman lalu
dipertemukan dengan Tandipau (Maddikka Bua saat itu). Sebelum menerima agama
yang dibawa oleh kedua Datu itu, Tandipau terlebih dahulu menantang Datu
Sulaiman. Tantangan itu adalah Tandipau akan menyusun telur sampai beberapa
tingkat, apabila Datu Sulaiman mengambil telur yang ada di tengah-tengah tetapi
telur itu tidak jatuh atau bergeser sedikitpun, maka Tandipau akan mengakui
ajaran agama Islam yang dibawa oleh Datu Sulaiman. Tandipau berani
disyahadatkan asalkan tidak diketahui oleh Datu’ karena ia takut durhaka bila
mendahului Datu’. Sebelum ke Malangke (Ware’) untuk menghadap Datu’, ke dua
Dato’ itu terlebih dahulu membangun sebuah masjid di Bua tepatnya di desa Tana
Rigella yang dibangun sekitar tahun 1594 Masehi yang merupakan masjid tertua di
Sulawei Selatan. Masjid ini pernah dimasuki oleh tentara NICA pada zaman
penjajahan lalu menginjak dan merobek-robek Al-Qur’an yang ada di dalam masjid.
Hal inilah yang memicu kemarahan rakyat Luwu lalu terjadilah perang semesta rakyat Luwu pada tanggal 23 Januari
1946 yang selalu diperingati oleh masyarakat Luwu setiap tahunnya.
Setelah membuat masjid di Bua, Dato’ Sulaiman lalu diantar ke Ware’ (Malangke) untuk menemui Datu’ Pattiware’. Setelah terjadi dialog siang dan malam antara Datu’ dengan Dato’ Sulaiman mengenai ajaran agama yang dibawanya, maka Datu’ Pattiware’ pun bersedia diislamkan bersama seisi istana. Pada Waktu itu Pattiware’ sudah memiliki tiga orang anak, yaitu Pattiaraja (12 tahun), Pattipasaung (10 tahun, yang kemudian menjadi Pajung / Datu Luwu ke 16 menggantikan ayahnya) dan Karaeng Baineya (3 tahun), serta adik iparnya Tepu Karaeng (25 tahun). Islam lalu dijadikan sebagai agama kerajaan dan dijadikan pula sebagai sumber hukum. Walaupun sudah dijadikan sebagai agama kerajaann, penduduk yang jauh dari Ware’ dan Bua masih tetap menganut kepercayaan Sawerigading. Mereka mengatakan bahwa ajaran Sawerigading lebih unggul dibanding ajaran agama yang di bawa oleh Dato’ tersebut.
Setelah berhasil mengislamkan Datu’ Pattiware’, Dato’ ri Bandang atau Khatib Bungsu lalu pergi untuk menyebarkan Islam didaerah lain di Sulawesi Selatan. Sedangkan Dato’ Sulaiman tetap tinggal di Luwu agar bisa mengislamkan seluruh rakyat Luwu karena hal ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Beliau lalu wafat dan dikuburkan di Malangke, tepatnya di daerah Pattimang, dan ia pun diberi gelar Dato’ Pattimang.
Setelah membuat masjid di Bua, Dato’ Sulaiman lalu diantar ke Ware’ (Malangke) untuk menemui Datu’ Pattiware’. Setelah terjadi dialog siang dan malam antara Datu’ dengan Dato’ Sulaiman mengenai ajaran agama yang dibawanya, maka Datu’ Pattiware’ pun bersedia diislamkan bersama seisi istana. Pada Waktu itu Pattiware’ sudah memiliki tiga orang anak, yaitu Pattiaraja (12 tahun), Pattipasaung (10 tahun, yang kemudian menjadi Pajung / Datu Luwu ke 16 menggantikan ayahnya) dan Karaeng Baineya (3 tahun), serta adik iparnya Tepu Karaeng (25 tahun). Islam lalu dijadikan sebagai agama kerajaan dan dijadikan pula sebagai sumber hukum. Walaupun sudah dijadikan sebagai agama kerajaann, penduduk yang jauh dari Ware’ dan Bua masih tetap menganut kepercayaan Sawerigading. Mereka mengatakan bahwa ajaran Sawerigading lebih unggul dibanding ajaran agama yang di bawa oleh Dato’ tersebut.
Setelah berhasil mengislamkan Datu’ Pattiware’, Dato’ ri Bandang atau Khatib Bungsu lalu pergi untuk menyebarkan Islam didaerah lain di Sulawesi Selatan. Sedangkan Dato’ Sulaiman tetap tinggal di Luwu agar bisa mengislamkan seluruh rakyat Luwu karena hal ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Beliau lalu wafat dan dikuburkan di Malangke, tepatnya di daerah Pattimang, dan ia pun diberi gelar Dato’ Pattimang.
Saat pusat kerajaan Luwu (Ware’) dipindahkan dari Malangke ke Palopo, Andi Pattiware’ yang bergelar Petta Matinro’e ri Pattimang (1587-1615 M) Datu’ pada zaman itu, memerintahkan untuk membuat suatu masjid yang dapat digunakan oleh masyarakat Palopo untuk menunaikan Shalat secara berjamaah yang letaknya tidaklah jauh dari “Salassae” istana Luwu. Masjid itu sendiri dibuat oleh Pong Mante pada tahun 1604 Masehi dimana makamnya terdapat dalam masjid Djami itu sendiri, tepatnya di bawah mimbar yang besar. Konon batu yang dipakai untuk membangun masjid itu dibawa dari Toraja dengan cara orang-orang berjejer dari Toraja sampai ke Palopo lalu batu-batu itu dioper satu per satu. Sedangkan bahan yang dipakai untuk merekatkan batu yang satu dengan yang lainnya adalah putih telur yang diambil dari kecamatan Walenrang, kabupaten Luwu.
Nama
Palopo itu sendiri yang sudah lama kita kenal berasal dari kata “Pallopo’ni”
yang diucapkan oleh orang-orang saat ingin menancapkan tiang masjid yang besar.
Panjang tiang utama masjid ini sekitar 16 meter dan kayu yang dipakai adalah
kayu Cina Guri, namun sekarang kayu jenis ini sudh tidak ada lagi. Konon kayu
jenis Cina Guri ini dikutuk sehingga sekarang hanya menjadi rerumputan kecil
yang biasa diberikan pada ternak sebagai makanan. Arti kata “Pallopo’” yang
secara bebas berarti “masukkan dengan tepat”. Menurut kepercayaan masyarakat,
seseorang belum bisa dikatakan menginjak Palopo jika ia belum pernah masuk ke
dalam Masjid Djami.
Setelah empat abad lebih, bangunan masjid Jami’ masih utuh dan tetap terawat dengan baik sehingga pada tahun 2002 yang lalu Masjid Djami’ Palopo memperoleh penghargaan sebagai Masjid Tua terbaik se-Indonesia mengalahkan ribuan masjid tua lainnya di Nusantara. Setelah berkembang selama kurang lebih empat abad, agama Islam kini menjadi agama yang mayoritas dianut oleh warga Tana Luwu dan Sulawesi Selatan pada umumnya.
Setelah empat abad lebih, bangunan masjid Jami’ masih utuh dan tetap terawat dengan baik sehingga pada tahun 2002 yang lalu Masjid Djami’ Palopo memperoleh penghargaan sebagai Masjid Tua terbaik se-Indonesia mengalahkan ribuan masjid tua lainnya di Nusantara. Setelah berkembang selama kurang lebih empat abad, agama Islam kini menjadi agama yang mayoritas dianut oleh warga Tana Luwu dan Sulawesi Selatan pada umumnya.
SUMBER
:
FERDIANSYAH
PUTRA








0 komentar:
Posting Komentar