Sabtu, 05 Januari 2019

Islamisasi Kedatuan Luwu Pada Abad XVII


Islamisasi Kedatuan Luwu pada Abad XVII

         Kesimpulan besar Disertasi ini bahwa perkenalan Islam bagi masyarakat Luwu, diawali melalui jalur pelayaran-perdagangan dan selanjutnya kedatangan tiga ulama dari Koto Tangah Minangkabau. Interaksi Islam dangan masyarakat Luwu terjadi bersamaan dengan masuk dan menaiknya peran negeri-negeri Bugis-Makassar dalam jaringan utama pelayaran-perdagangan ke kepulauan Asia Tenggara yang mulai berlangsung sekitar abad XIV. Sedangkan persentuhan dengan Islam lebih nyata terjadi ketika kedatangan tiga orang mubalig dari Koto Tangah dan menjadikan Kedatuan Luwu sebagai target awal islamisasi bagi kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar. Kedatangan ketiga mubalig tersebut atas inisiatif pedagang-pedagang Muslim untuk membendung misi Kristen. Ada beberapa akademisi yang memberikan tesis, mengapa Islam diterima oleh Raja Luwu baginda Patiware (1585-1610), terhitung sangat mudah dan cepat, antara lain: 1) Sanusi Daeng Mattata (1967), memandang bahwa pengislaman Datu Luwu melalui metode dialog yang menekankan pada konsep tauhid. 2) Christian Pelras (1996), menekankan kemampuan Datuk Sulaiman menghubungkan dogma teologis dengan kepercayaan lokal; kepercayaan Bugis tentang Sawerigading. Dengan demikian kedua pendapat di atas, sama-sama menekankan pada metode yang tepat. Disertasi ini membuktikan, sebelum kehadiran Datuk Tiga Serangkai di Kedatuan Luwu, Baginda Patiware (1585-1610) sudah banyak mendengar tentang Islam melalui pedagang-pedagang Luwu, minimal mengenai sikap (behavior) terpuji yang ditunjukkan oleh pedagang-pedagang Muslim, sehingga Datu Luwu simpatik terhadap Islam. Dengan demikian, kehadiran Datuk Tiga serangkai dengan kepiawaian metodenya yang menekankan pada konvergensi yaitu persamaan antara konsep Islam mengenai al-Tauhid (keesaan Allah) dengan kepercayaan lokal mengenai Dewata Seuwae (dewa yang tunggal), sehingga lebih memudahkan Datuk Sulaiman untuk mengenalkan Islam kepada Datu Luwu dan masyarakat Luwu. Temuan disertasi ini, didasarkan pada: 1) temuan arkeologi di Malangke Ibukota Kedatuan Luwu pra-Islam—berupa keramik Cina, manik-manik kaca, piring porselin Cina dan mata uang yang berasal dari sekitar abad XIV-XVII—memberi isyarat kuat terjadinya hubungan ekonomi Kedatuan Luwu dengan dunia luar, termasuk dengan pedagang-pedagang Muslim, 2) temuan pada fieldwork oleh Tim OXIS Project (the Origin of Compleks Society in South Sulawesi) pada tahun 1998 dan 1999 di Kampung Pattimang Tua (Malangke) dengan keluasan sekitar lima hektar, menemukan sejumlah besar fragmen wadah keramik, memberi indikasi bahwa benda-benda itu tersisa karena ada okupasi parsial sekitar tahun 1600. Tim OXIS berkesimpulan, ketika Luwu menjadi Negara pertama di Sulawesi Selatan menerima Islam pada tahun 1605, ia dengan jelas masih merupakan sebuah pusat perdagangan yang makmur dan kuat yang berlokasi di pesisir Malangke. Sumber yang dipakai dalam penelitian ini adalah; 1) naskah-naskah kuno yaitu Lontara, 2) berita-berita asing, dari Tome Pires dan Manuel Pinto, dan 3) arkeologi. Data-data ini dibaca dengan teori-teori islamisasi, terutama dengan teori proselitisasi. Teori ini digunakan untuk menganalisis kegiatan penyebaran Islam di Kedatuan Luwu. Teori yang lain adalah teori konvergensi, teori ini sangat membantu dalam menjelaskan mengapa Islam diterima dengan mudah dan dalam waktu yang relatif singkat (secara damai). Disamping itu, penelitian ini dilengkapi juga dengan analisis melalui pendekatan ilmu sosial yaitu dengan menggunakan teori propagasi. Teori ini membantu menganalisis bagaimana sikap masyarakat dalam menghadapi proses akulturasi.

Semoga Bermanfaat...

FERDIANSYAH PUTRA

Kisah Ulama Asal Minang Islamkan Raja Luwu Lewat Adu Kesaktian


Kisah Ulama Asal Minang Islamkan Raja Luwu Lewat Adu Kesaktian

Penyebaran ajaran Islam di tanah Sulawesi tak lepas dari peranan tiga datuk asal Minangkabau. Mereka adalah Datuk Sulaiman (Patimang), Datuk Ri Tiro dan Datuk Ri Bandang. Mereka berbagi diri ke tiga teritori saat menyebar Islam, salah satunya, Datuk Sulaiman yang bertugas di wilayah Kerajaan Luwu.
Raja Luwu, di masa lalu dikenal dengan ilmu kesaktian yang tinggi. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi Datuk Sulaiman saat mengajak raja memeluk Islam.
Menurut peneliti senior Balai Litbang Agama Makassar, Saprillah Syahrir, Datuk Sulaiman datang pada akhir abad 16. Saat itu Datuk mencoba mencoba menemui raja Luwu bernama Datu La Patiware, untuk diajak masuk Islam. Ternyata, datuk mengalami kesulitan untuk menemui langsung sang raja.
Saprrillah mengatakan, Datuk Sulaiman melewati semacam ujian kesaktian untuk bisa menemui langsung Raja Luwu. Saat baru berada di gerbang rumah Raja, terdapat jamuan nasi khas lokal, bernama Songkolo. Secara tiba-tiba Songkolo berubah mejadi sarang lebah.
Meski dalam ancaman lebah yang beringas, Datuk Sulaiman tak mundur. Ia tetap tenang hingga tiba-tiba sarang lebah itu kembali ke wujud aslinya. Warga sekitar yang menyaksikan langsung pun kaget dengan sosok Datuk Sulaiman yang masih asing.
Namun, di hari itu Datuk Sulaiman tak langung masuk. Ia memilih pulang dan datang keesokan harinya.
"Besoknya, Datuk Sulaiman kembali datang ke rumah Raja. Ia sudah bisa masuk dalam halaman rumahnya. Di sini ujian keduanya, berupa guci berisi air yang tergantung di pintu rumah raja," terang Saprillah saat ditemui Okezone di kantor Balai Litbang Agama Makassar, jalan AP Pettarani Makassar.
Guci itu melayang-layang di pintu tak tergantung. Melihat itu, Datuk lalu mengangkat tongkatnya dan memukul guci tersebut. Benda itu pecah, kepingan guci berhamburan di tanah. Namun entah bagaimana, air tetap menggelantung di pintu sesuai bentuk guci. Beberapa lama melayang, baru air itu ikut jatuh ke tanah
Usia melewati ujian kedua, Datuk belum juga masuk menemui raja. Ia memilih pulang dan datang kembali di hari esoknya.
Kedatangannya yang ketiga, Datuk sudah berhadap-hadapan dengan Raja Luwu. Namun mereka di antarai tujuh buah telur yang bersusun rapi secara vertikal, tanpa jatuh. Lagi-lagi raja Luwu memamerkan kesaktiannya di depan Datuk.
Selang beberapa lama, Datuk yang menyaksikan itu pun mengambil selah-selah telur itu. Keanehan pun lagi-lagi terjadi. Meski telur bagian bawah sudah tak ada lagi, namun telur bagian atas masih tetap melayang. Hingga selah-selahnya dicopoti Datuk, telur itu masih juga melayang.
Akhirnya, setelah tiga kali menguji kesaktian, Raja Luwu La Patiware pun takjub dengan kesaktian Datuk Sulaiman. Dia lalu mempersilahkan Datuk menyampaikan risalah tujuannya datang ke rumah raja.
Saat itu juga, Datuk mengajak raja untuk memeluk Islam. Melalui dialog panjang siang dan malam, akhirnya Raja Luwu dan se-isi istana menerima ajaran islam. Datuk Sulaiman pun menuntun mereka membaca dua kalima syahadat.
Diterimanya Islam di Luwu, ditandai dengan pembangunan masjid yang letaknya tidaklah jauh dari istana Luwu pada tahun 1604 Masehi. Masjid itu kini dikenal Masjid Jami Tua, yang letaknya di Kota Palopo, Sulawesi Selatan.
"Kedatangan Datuk ke Luwu sebenarnya dalam misi menyebar Islam dengan pendekatan tauhid. Itu karena orang-orang Luwu sejatinya sudah mengenal tauhid, Datuk datang tinggal menyempurnakan itu sesuai ajaran Islam," terang Saprillah.
Sebelum Islam masuk di Luwu, warga masih menyembah arwah-arwah nenek moyang dan 'Dewata Sewae'. Pasca masuknya Islam di Luwu, Datuk Sulaiman tak langsung pergi. Dia justru mengajarkan Islam hingga wafat dan dikuburkan di Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Tepatnya di daerah Pattimang, dan ia pun diberi gelar Datuk Pattimang.
"Kisah itu adalah native yang diwariskan masyarakat Luwu secara turun temurun,dari generasi ke generasi cerita itu tidak banyak versi, palingan urutan adu kesaktian saja yang berubah," tukas peneliti masalah agama tersebut.
Sejarah versi lain pun tidak banyak berbeda, hanya tokoh lawan debat Datuk yang berbeda. Beberapa referensi menjelaskan jika lawan adu sakti Datuk bukan raja Luwu, tapi Tandipau. Namun secara alurnya kisahnya tetap sama.
Hingga kini, jejak Datuk Sulaiman masih terasa di Kabupaten Luwu Utara. Makamnya tetap ramai dikunjungi peziarah. Bahkan nama Datuk Sulaiman dijadikan nama salah satu jalan, untuk mengenang jasa-jasa ulama mashur tersebut.

Semoga Bermanfaat

Oleh :
HARBIYAH


Rabu, 26 Desember 2018

KERAJAAN & MASUKNYA ISLAM DI LUWU


kerajaan & MASUKNYA ISLAM DI LUWU

Judul Buku : Kerajaan Luwu (Catatan Tentang Sawerigading, Sistem Pemerintahan dan Masuknya Islam)
Penulis : Siodja Dg Mallondjo
Terbit : April 2004
Penerbit : Komunitas Kampung Sawerigading (KAMPUS) bekerjasama dengan Pemerintah Kota Palopo

Bersentuhan dengan sejarah Sulawesi Selatan, maka kita tidak bisa lepas dari kisah kerajaan Luwu. Kerajaan inilah yang sampai saat ini diyakini sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan bahkan di Indonesia Timur. Bahkan kerajaan inilah yang merupakan nenek moyang atau cikal bakal orang-orang Bugis. Secara mitologi, dalam Sureq Galigo diinformasikan bahwa keberadaan manusia pertama dalam wilayah kesadaran manusia Bugis diturunkan di Ale Luwu. Dialah Batara Guru atau La Tongeq Langiq. Ia diturunkan untuk menyemarakkan Ale Kawaq (Bumi). Buku ini akan banyak memberikan informasi mengenai Kerajaan Luwu. Dengan sistematika penulisan ringkas dan gamblang, menjadikan ia baik dikonsumsi oleh mereka yang merupakan pemula dalam mengenal sejarah Sulawesi Selatan, khususnya internal daerah Luwu masa dulu.
Melalui artikel ini, kita bisa mendapatkan pemahaman-pemahaman awal mengenai Luwu, baik sistem pemerintahannya maupun masuk dan perkembangan Islam ke daerah tersebut. Untuk memulai perkenalan dengan kerajaan Luwu, buku ini diawali dengan memperkenalkan Sawerigading. Nama Sawerigading sampai saat ini tetap membekas dalam ingatan kultural masyarakat, bukan hanya di Luwu, tetapi juga di berbagai daerah di Nusantara ini. Sosoknya dipercaya sebagai keturunan dewa yang memiliki kemampuan di luar batas rasionalitas manusia. Ia adalah keturunan langsung dari Batara Lattu, ayahnya, dan Batara Guru sebagai kakeknya. Namun sayang, ia tidak pernah menjabat Pajung dan Datu Luwu, sebagaimana bapak dan kakeknya. Ini dikarenakan pengasingan yang dialaminya karena melanggar sumpahnya sendiri.
Perkawinannya dengan I We Cudai menghasilkan tiga orang keturunan (dua orang perempuan dan seorang laki-laki) yaitu Simpurusiang, We Tenri Dio dan I La Galigo. Ia pun diceritakan mempunyai beberapa orang istri, sebab ketika ia mengembara dan melihat seorang wanita yang menawan hatinya, maka ia pun berusaha mempersuntingnya. Nama anaknya yang ketiga, I la Galigo kemudian diabadikan dalam Sureq Galigo. Galigo sendiri dikisahkan sebagai seorang pemuda yang sakti tetapi nakal.
Sebagian masyarakat percaya bahwa Sawerigading adalah seorang Nabi, bukan Rasul. Kemampuan dan kesaktian yang dimilikinya bisa dikategorikan sebagai mu’jizat, layaknya Rasul dan Nabi yang dikisahkan dalam al-Qur’an. Hasratnya yang sangat untuk mencari tahu kekuatan Maha Dahsyat diluar dirinya –jika tidak ingin dikatakan Tuhan—hampir sama dengan kejadian yang dialami beberapa utusan Allah S.W.T.
Setelah bertanya pada orang tua dan kakek-kakeknya, akhirnya dengan cara mappinangrakka (duduk dengan melipat kedua kaki sambil memejamkan kedua mata) ia melakukan munajat.
Sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan –bahkan Indonesia Timur–, darinya bisa kita gali konsep tata pemerintahan. Konon sejak Batara Guru diturunkan di Ale Luwu, sejak itu pula konsep pemerintahan disusun. Konsep tersebut senantiasa berubah demi merespon situasi zaman yang juga setiap saat mengalami perubahan. Mulai dari Pajung / Datu I hingga yang terakhir diangkat dengan memenuhi syarat : berakal sehat, tidak cacat anggota tubuhnya, anak mattola massungeng dan telah berkeluarga.
Penting untuk diketahui juga bahwa istilah Pajung dan Datu menyimpan perbedaan. Meskipun keduanya memiliki substansi yang sama yaitu sebagai kepala pemerintahan, namun bagi seorang Pajung mutlak diberi gelar Datu. Tidak demikian dengan seorang Datu, ia belum tentu seorang Pajung. Untuk menjadi Pajung, seorang Datu harus menjalani proses puasa makanan pokok (hanya makan buah-buahan) , tidur dan menghabiskan waktu siang hari di sebuah lapangan khusus tanpa ada tempat bernaung dari panas dan hujan. Setelah berhasil menjalani proses ini, seorang Datu baru pantas diberi gelar Pajung.
Dalam artikel ini pula dipaparkan secara singkat sejarah Pajung/Datu Luwu I hingga Pajung/Datu Luwu XXXVI yaitu A. Djemma. Selain itu, diungkapkan pula konsep tata pemerintahan yang berlaku di daerah Luwu. Kenyataan membuktikan bahwa konsep yang berlaku zaman dulu telah begitu ideal dan apik untuk menjamin eksistensi rakyat setempat. Seorang Pajung dan Datu dilambangkan sebagai naungan masyarakat terhadap kondisi panas, hujan bahkan jaminan perlindungan , kemanan, kesejahteraan rakyat.
Dalam sejarah pemerintahan kerajaan Luwu, ada beberapa peristiwa yang memperlihatkan betapa ketatnya hukum berlaku. Hukum tersebut berlaku pada setiap lapisan masyarakat, mulai dari pemegang tampuk kekuasaan hingga masyarakat akar rumput. Sebut saja pengasingan yang dialami Sawerigading karena melanggar sumpahnya sendiri, atau hukuman mati yang ditimpakan terhadap Petta Toniaga karena melanggar hukum adat istiadat dan masih tersisa kisah lain yang sangat baik untuk dijadikan cermin kehidupan saat ini. Seutuhnya
mengenai tata pemerintahan ini bisa kita baca di Bab III buku ini. Setelah mengangkat masalah pemerintahan, gambaran dasar mengenai sistem kepercayaan meneruskan perkenalan kita dengan Luwu. Dalam Kitab Galigo jilid 25, termaktub pernyataan Sawerigading :

Ulawengga ri Nabie, Salakawa ri Malaikae, dan intangnga ri Allah Taala. Meskipun belum jelas agama apa yang dianutnya, tetapi pernyataan di atas setidaknya memberikan sekilas ilustrasi bahwa nilai keTuhan telah ada sejak zaman Sawerigading, bahkan sejak bapak dan kakeknya. Secara resmi, agama Islam masuk ke daerah Luwu pada tahun 1013 H/1593 M melalui daerah Bua. Bermula dari mimpi yang dilami oleh Madika Bua –pemimpin daerah Bua– , ketika ia menyaksikan tiga buah matahari menyinari daerah Bua. Rupanya ini adalah pertanda datangnya tiga orang Datuk yang nantinya menyebarkan Islam. Mereka adalah Datuk Sulaeman (bergelar Datuk Pattimang), Abdul Makmur Khatib Tunggal (Datuk Ri Bandang), dan Abdul Jawal Khatib Bungsu (Datuk Di Tiro). Syiar Islam mereka lakukan dengan cara yang sangat menghormati adat istiadat setempat, dialogis (singkrume), serta tanpa intimidasi.
Karena daerah Bua merupakan tempat pertama kali Islam disebarkan di daerah Luwu, maka masyarakat setempatlah yang pertama kali memeluk Islam. Setelah sempurna penyebaran Islam di daerah ini, Madika Bua kemudian mengajak ketiga Datuk tersebut menghadap Pajung/Datu Luwu yang saat itu dipegang oleh Pati Arase Dg Parabung. Dengan menempuh cara yang sama, akhirnya Pati Arase selaku Datu Luwu menerima Islam dan memerintahkan rakyatnya juga untuk memeluk Islam. Peristiwa ini terjadi pada hari jum’at 15 Ramadhan 1013/1593 M.

Semoga Bermanfaat


Oleh  :


FERDIANSYAH PUTRA

SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI TANA LUWU.


SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI TANA LUWU.



Pada Suatu malam Maddika Bua Tandi Pau bermimpi meliahat  3 buah matahari terbit disebelah timur  Bua, dengan sinarnya yang begitu terang sehingga terlihat sudut sudut yg biasanya tidak terjangkau oleh penglihatan mata,ketika itu semuanya terlihat jelas  Namun ketika pandangannya memutar kesekelilingnya pada saat itu pula Maddika Bua terjaga dari mimpinya yg hanya berlangsung beberapa menit.

         setelah mendapatkan mimpi itu berhari hari Maddika Bua terus mengingat kejadian yg terjadi dalam mimpinya,meski risau namun ia belum mau menceritakannya kepada orang lain.Pada saat itu ia hanya berharap agar tak terjadi apa apa pada rakyatnya.yang selalu membesarkan hatinya mengenai mimpi itu adalah sinar yg dipancarkan oleh 3 matahari yg menyinari Bua,inilah kemudian yg diyakini oleh Maddika Bua sebaga pertanda yg baik bagi dirinya maupun rakyatnya.

     Tidak berapa lama setelah mendapatkan mimpi tersebut datanglah  muballiq yang berasal  dari minangkabau yaitu Abdul makmur ( Dato' Ri Bandang ), Khatib Sulaiman ( Datu' Pattimang ) dan Khatib Bungsu ( Datu' Tiro ).Ketiga Muballiq tersebut tiba dipandoso, muarasungai Pa'barasseng daerah Bua dengan menggunakan Perahu layar yg bernama ( Qimara ).

      Setibanya didaerah ini mereka bertemu dengan nelayan setempat yg bernama Latiwajo dan ketiganya pun memperkenalkan diri.Ketiganya meminta kepada nelayan untuk menyampaikan Amanah kepada Pemerintah atau penguasa daerah Bua bahwa Ada 3 orang tamu yg ingin bertemu dengan beliau,lalu bergegaslah Latiwajo menyampaikannya kepada MAddika Bua.

     Pada saat menerima pesan tersebut,maddika Bua memanggil salah seorang cendekiawannya yg bernama Langkai Bukubuku dan sekaligus  memerintakn utnutk bertemu dan menyambut ketiga tamu yg masih berada diLapandoso.Segeralah Langkai Bukubuku menemui tamu tersebut,setelah bertemu ketiga muballigpun menampaikan maksud dan tujuannya datang kedaerah Bua untuk mengembangkan syiar islam,ajaran yg memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat.

      Dan Berangkatlah Langkai Bukubuku  menemui Maddika Bua lalu menyampaikan maksud dan tujuan ketiga muballig tersebut dan saat itu pula maddika Bua teringat langsung akan mimpinya tersebut.maka dikumpulkannyalah Anggota hadatnya yg terdiri dari To Pabbicara, Anri Guru to magawe Atau sakti, Pabbunture' atau patih, Opu To malompo,Ampu lembang to Maroa,Tomakaka Posi' dan Baju-baju seppulo Dua..

      Mereka kemudian berkumpul untuk menyambut ketiga muballig tersebut,dengan menggunakan perahu perang yg bernama " La Uli' Bue " mereka berangkat ke Pandoso Muara pa'baresseng melalui Sungai bua.setibanya dipandoso,maddika bua dan perangkat hadatnya langsung bertemu ketiga orang tamu tersebut.Ketiganyapun memberi salam dengan mengucapkan selamat kepada maddika Bua bersama pemangku hadatnya lalu ketiganya mempersilahkan maddika bua beserta perangkat hadatnya naik keatas perahu Qimara dan selanjutnya mereka memperkenalkan diri.

      Diatas perahu tersebut Maddika bua bersama beberapa rombongannya melakukan SINGKARUME' ( Dialog ).

Maddika Bua Bertanya kepada ketiga orang tersebut..
" Apakah islam itu tidak merusak peradaban yg berlaku didalam daerah kami?"

Datu' Sulaiman memberi jawaban;
" Tidak merusak,malahan menguatkan peradaban sesuai ajaran islam" Beliaupun mengutip Sabda Rasulullah sebagai berikut:
MAN LAA AADABA LAHUU LAA DIINA LAHUU.. ( BARANG SIAPA TIDAK BERADAB MAKA TIDAK ADA AGAMA BAGINYA )

Maddika Bua kembali bertanya:
"Apa gunanya Agama islam itu bagi manusia "

Datu' Sulaiman menjawab:
"untuk membahagiakan Dunia dan memberikan keselamatan DiAkhirat"

Kemudian Maddika Bua bertanya lagi"
"Apakah tidak cukup budi pekerti Yg menjamin kebahagiaan Dunia dan Akhirat?"

Datu' Sulaiman menjawab;
"Betul juga apa yg dikatakan oleh maddika bua,akan tetapi hal itu laksana pohon kayu kecil yg terbatas kegunaannya,sedang yg kami bawakan ini diumpamakan sejenis kayu raksasa yg serba guna yg dapat dijadikan tiang Rumah bahkan dapat dibuatkan perahu layar yg dapat mengarungi samudera hingga kemana saja,bahkan sampai keakhirat kelak dengan selamat"

Seterusnya Maddika Bua Tandi pau bertanya:
"Apakah Tuan tidak Tahu bahwa ada kayu Raksasa yg sangat mengagumkan dan kuat dari yg kuat tumbuh didaerah Luwu ini yg dapat berfungsi serba guna?"

Datu' Sulaiman kembali bertanya:
"Kayu Apakah itu dan dimana Lokasinya?"

Maddika Bua menjawab:
"kayu rapuh yg tak Lapuk Yg tumbuh ditengah Lautan"

Datuk Sulaiman lanjut bertanya:
"jenis kayu bagaimana itu?"

      Maddika Bua lalu menjelaskan bahwa jenis dan macam kayu tersebut tidak dapat kita bayangkan oleh karena kayu tersebut Raksasa tanpa bayangan" kemudian maddika bua mengucapkan syair sebagai berikut:

"AJU TABU TAKKE TABU,TUO RI TENGNGA TASI'.TEKKI WAJO WAJO"
"KAYU RAPUH YANG TAK LAPUK TUMBUH DITENGAH LAUT TANPA BAYANGAN"

Kemudian Datuk Sulaiman menyambut dengan ucapan:

"AL-KAUNU KULLUHU TZILAALUN ADAMUN MAKHADHUN"
"SEGALANYA YG ADA ITU HANYA BAYANGAN "
Maksudnya: Segala yg ada didunia ini pada hakikatnya tak ada,kehidupan ini hanya mimpi dan fana yg kekal adalah kehidupan akhirat.

Maddika Bua melanjutkan pertanyaannya dengan syairnya sebagai berikut:

"MAKKUTANAWA LE TOPANRITA,AGA AMMULANNA MANCAJI ALEPU"
(Saya bertanya kepada alim ulama dimanakah permulaannya alif itu?"

Datuk sulaiman pun menyambung"

"MONRO RI LANGI-I NA NUN,MONRO RI TANA-I NA BA"
(Terletak dilangit disebut NUN,terletak dibumi disebut BA)

     Setelah melakukan beberapa dialog ketiga tamu tersebutpun menyadari tingkat pemahaman aqidah ( tauhid ) Maddika Bua,selanjutnya Datu' Sulaiman masih memberi kesempatan kepada Maddika Bua dan perangkata Hadatnya untuk mengajukan pertanyaan,Maka salah satu dewan hadatnya yaitu To makaka Posi' yg bernama Manggau' Bersyair"

"Bangnga'na mupenawai tasi' tae' randanna,Denni randanna tobang tama tangngana"
(Saya tertegun memikirkan lautan tanpa tepi,sekali bertepi justru jatuh ditengah samudera")

Datuk sulaiman langsung menyambut:

"QAALA AN-NABIYYU SHALLALLAHU ALAIHI WASALLAM: WAIZAA SAYAGRAQU ZAL KAMMU FII HAAZAL ALBAHRI LAM YAJID LILSHAERI TAHUU MASYHUUDAN SUU ALBAHRI"
(RASULULLAH BERSABDA: KALAU SUDAH TENGGELAM KEDALAM LAUTAN BAGI YG MENCARI/BERJALAN,MAKA TIDAK ADA LAGI PERHATIAN SELAIN LAUTAN (KESUCIAN) ITU SENDIRI (ALLAH).itulah yg disebut ISTIQOMAH.seluruh panca indera adalah dari pemberian Tuhan semata dan tidak ada lain yg punya selain ALLAH.

Kemudian Ampu lembang To maroa Sanggaria lau' ikut bersyair:

"KEDO KEDONA BOMBANG,MENGNYAI  NA WAE.TENRA LESANGENNA"
(Bergerak itulah gelombang,tenang itulah air,yg tidak berbeda juga dengan Air )

Kemudian Datu' Sulaiman memberi jawaban"

"AL AABIDU WAL MA'BUUDU WAAHIDUN"
(YG MENYEMBAH DAN DISEMBAH ADALAH BERSATU AKRAB)
Sebab gelombang sama saja air hanya sifatnya yg berbeda..

kemudian menyusul nyanyian ketua adat La tenri Adjeng:

"CENNA DUA RONNANG SAGALA DUA TOI UPAWAREKKENGI ALE RI ABONGNGOREKKU.
 AMBONGNGOREPPA MASSAPPA.PUSAPO MELLOLONGENG RI MASAGALAE"
(KAPAN DUA DZAT TUHAN,DUA JUGA PENYERAHAN KEBODOHANKU KEPADANYA,KARENA HANYA KEBODOHAN BIAS MENCURI DAN KESESATAN DAPAT MEMPEROLEH YG HAQ ( TUHAN )"

Kemudian Datu' Sulaiman menyambut dengan hadist Qudsy:

"AL ALAMU JAAHILAN WAL MA'RUFUFATU INKARAN"
(MENGENAL KARENA KEBODOHAN DAN MENGETAHUI YG SEBENARNYA HANYALAH KEINGKARAN DIRI)
Jadi sungguh ALLAH berbeda dengan segala sesuatu,karena sesuatu kita kenal harus dengan ilmu pengetahuan dengan yakin kebenarannya tanpa diingkari..

     Setelah itu Datu' Sulaiman kembali bertanya,apakah masih ada yg ingin lagi bertanya? namun sampai beberapa lama tak ada lagi yg ingin bertanya maka berakhirlah Singkarume ( dialog) atau penyempurnaan aqidah kepercayaan tersebut..

      Setelah proses tersebut akhirnya Maddika bua dan para pemangku adat akhirnya memeluk agama Islam dengan terlebih dahulu mengucapkan Dua kalimat syahadat. setelah Maddika bua memeluk islam,Ia pun bersedia mengantar para Muballigh tersebut ke malangke Pusat Kedatuan Luwu saat itu yg memang menjadi tujuan utama mereka,menurut cerita saat berada dimalangke ( Pattimang )Datu' Luwu kembalai meminta untuk melakukan singkarume ( Dialog ).

     Saat Datu' Sulaiman datang membawa ajaran islam,ketika itu datu' luwu Patiarase atau La Pattiware ( memerintah dari thn 1585-1610 ) telah mempunyai 3 orang Anak,mereka adalah Patiaraja,Patipasaung dan karaeng Baineya, adik ipar Datu' Luwu ada Pula Diistan Yaitu Tepu Karaeng. Datu' Luwu La Pattiware memeluk islam pada hari Jum'at tanggal 15 Ramadhan 1013,Baginda diberi gelar arab,Sulthan Muhammad Mudharuddin dan ketika mangkat diberi gelar Petta matinroe Ri ware'..

     setelah La Pattiware memeluk islam ,maka pelaksanaan ajaran islam dilakukan secara bertahap,nilai nilai lama yg tidak bertentangan jauh dengan ajaran islam tetap diberlakukan,utamanya negeri diluar ware' ( Malangke).ketika itu orang toraja dipegunungan masih menganut ajaran "Aluk To Dolo ". suku toraja terbilang sulit untuk diislamkan begitupun orang2 Rongkon,Namun Datu' tidak  memaksakan dan membiarkan.

    Meski demikian orang Rongkong sangat patuh terhadapa Datu kecuali soal kepercayaan, Orang cerdik Luwu yaitu patunru mustafa kemudian memasukkan ajaran islam kedalam ungkapan2 adat Luwu terlebih mengenai nilai-nilai luhur seperti keadilan,kejujuran dan kebenaran.

     Hal yg sama diberlakukan pula pada Orang2 Cerekang dan Ussu walau demikian hingga sekarang masih terdapat pemahaman masyarakat bahwa antara Sawerigading dan Muhammad " IYA MUTO...IYA MUTO...( DIA JUGA ..ITU JUGA..)

    Meski Datu luwu telah memeluk islam,namun masih ada beberapa orang penting di Luwu yg masih merasa Ragu-ragu salah satunya adalah saudara Datu' sendiri yaitu Patiparessa manjawari ( Petta Pao )

    Menurut cerita yg beredar dimasyarakat yg kini telah dianggap mitos.setelah mendengar seruan dari kakaknya sebagai Datu luwu Petta Pao meminta waktu beberapa lama untuk menghabiskan dahulu daging babinya,namun setelah waktu yg ia minta berlalu ia belum juga mau memeluk islam dengan alasan daging babinya belum habis,setelah diselidiki ternyata daging babi itu tidak akan habis sebab orang2nya selalu menambah persediaan daging babi untuk dia..

     akibat patiparessa manjawari terus menyalahi janji maka Datu luwu pun murka,beliau tidak suka pada orang yg selalu menyalahi jani karenanya patiarase menutus seorang algojonya bernama La Bucai untuk membunuh Petta pao.mendapat perintah dari Datu La Bucai pun bergegas menuju kerumah Petta Pao dan langsung masuk. melihat petta Pao yg saat itu sedang makan malam La Bucai pun langsung menebas lehernya,dalam sekali tebas Petta pao langsung tewas,dengan adanya kejadian ini maka sejak itu masyarakat PAO kecamatan malangke muncul semacam tradisi bahwa setiap makan malam diharuskan menutup dulu pintu rumahnya..

    Ketika Datu Luwu Patiarase Daeng parabung memeluk islam Maddika bua Tandi Pau pun merasa lega,meski demikian beliau sudah tahu bahwa tidak mungkin Patiarase sebagai raja yg memiliki pengetahuan luas dan dalam tentang hakikat kehidupan menolak ajaran kebenaran yg datang kepadanya.
Karena tugasnya telah selesai,Maddika Bua memohon diri untuk kembali ke Bua.Untuk menghargai jasanya,Pajung/Datu luwu Patiarase memberi Penghormatan kepada Tandi Pau dengan gelar Opunna ware' sambil menitipkan Amanah sebagai berikut:

1.Mengembangakan ajaran Agama Islam diwilayahnya dengan sungguh sungguh tanpa pamrih kecuali mengharap keridhaan ALLAH SWT semata.
2.setiap masuk bulan suci Ramadhan diharuskan Maddika bua melapor keistana Pajung/Datu luwu.ini sebagai sanksi kepada Maddika Bua karena telah mendahului Datu Luwu memeluk islam.

     Adapun pelaksanaan pelaporan tersebut diatas berlangsung sampai Pajung/Datu luwu ke 33 yaitu Andi Kambo Opu Daeng Risompa Petta matinroE Ribintanna.pada waktu itu pula laporan tersebut ditiadakan atas hasil musyawarah kadhi Luwu K.H.Ramli,akan tetapi diingatkan agar jangan mendahului Datu berpuasa.

Demikianlah sejarah singkat proses masuknya Islam Di Tana Luwu hingga saat ini..


Semoga Bermanfaat



FERDIANSYAH PUTRA

Patimang – Malangke, Sejarah Islam di Tanah Luwu Utara


Patimang – Malangke, Sejarah Islam di Tanah Luwu Utara

   * Pengantar Cerita 
Datuk Patimang yang bernama asli Datuk Sulaiman dan bergelar Khatib Sulung adalah seorang ulama dari Minangkabau yang menyebarkan agama Islam ke Kerajaan Luwu, Sulawesi sejak kedatangannya pada tahun 1593 atau penghujung abad ke-16 hingga akhir hayatnya. Selain dirinya, Datuk Patimang juga bersama dua orang saudaranya yang juga ulama, yaitu Datuk ri Bandang yang bernama asli Abdul Makmur dengan gelar Khatib Tunggal dan Datuk ri Tiro yang bernama asli Nurdin Ariyani dengan gelar Khatib Bungsu. Mereka menyebarkan agama Islam dengan cara membagi wilayah syiar berdasarkan keahlian yang mereka miliki dan kondisi serta budaya masyarakat Sulawesi Selatan atau Bugis/Makassar ketika itu. Datuk Patimang yang ahli tentang tauhid melakukan syiar Islam di Kerajaan Luwu, sedangkan Datuk ri Bandang yang ahli fikih di Kerajaan Gowa dan Tallo sementara Datuk ri Tiro yang ahli tasawuf di daerah Tiro dan Bulukumba. Pada awalnya Datuk Patimang dan Datuk ri Bandang melaksanakan syiar Islam di wilayah Kerajaan Luwu, sehingga menjadikan kerajaan itu sebagai kerajaan pertama di Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara yang menganut agama Islam. Seperti umumnya budaya dan tradisi masyarakat nusantara pada masa itu, masyarakat Luwu juga masih menganut kepercayaan animisme/dinamisme yang banyak diwarnai hal-hal mistik dan menyembah dewa-dewa. Namun dengan pendekatan dan metode yang sesuai, syiar Islam yang dilakukan Datuk Patimang dan Datuk ri Bandang dapat diterima dan akhirnya setelah melalui dialog yang panjang antara sang ulama dan raja tentang segala aspek agama baru yang dibawa itu, raja Luwu (Datu Luwu) yang bernama Datu’ La Pattiware Daeng Parabung pada 4-5 Februari 1605, beserta seluruh pejabat istananya masuk Islam. Bukan hanya itu, agama Islam-pun dijadikan agama kerajaan dan hukum-hukum yang ada dalam Islam-pun dijadikan sumber hukum bagi kerajaan. (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Datuk_Patimang

* Sebelum masuknya islam Raja Luwu dan anaknya. 
Setelah berada di Desa Malangke, Kabupaten Luwu Utara (sekitar bulan Juli 2016 lalu), saya kemudian mencari tahu tentang cerita sejarah Datuk Patimang. Saya kemudian menginap di rumah salah seorang perempuan tua yang bernama nenek Sa’da. Nenek Sa’da sendiri merupakan “Ammatoa Malangke ”karena merupakan garis keturunan dari Datu Luwu 16 “La Patipasaung” yang bergelar “petta matinroe ri Malangke (1615-1637) – atau yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan “petta Malangke”. Nenek Sa’da adalah pemegang kunci makam Datu Luwu ke 16- petta Malangke “(anak dari Datu Luwu 15 “La Pattiware”- yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan “petta Patimang) dan juga yang memegang sebuah Al- Quran tua, yang konon merupakan milik Datuk Patimang.
-          

Menurut nenek Sa’da, petta Patimang adalah seorang raja yang sangat berwibawa pada waktu itu. Sedangkan anaknya petta Malangke adalah seorang yang sangat berani. Setelah datangnya Datuk Patimang dan berdialog lama (berbulan bulan) dengan petta Patimang atau Raja Luwu ke 15, sang Raja belum bisa mengambil keputusan tentang ajakan Datuk Patimang untuk menganut agama Islam. Alasannya adalah masih ada satu orang lagi yang Sang Raja tunggu Persetujuannya. Akhirnya sang Raja (yang tinggal di Patimang) memanggil anaknya yang kala itu tinggal di Malangke (jaraknya sekitar 7 kilometer). Alkisah, petta Malangke datang menemui ayahnya dan Datuk Patimang. Dari hasil pembicaraan kala itu, petta Malangke yang merupakan orang berani, akhirnya terlibat adu kesaktian bersama Datuk Patimang. Hingga akhirnya petta Malangke mengakui ajaran agama Islam yang di bawah oleh Datuk Patimang, dan petta Malangke beserta petta Patimang (Ayahnya) masuk Islam. Setelah Raja Luwu dan anaknya beserta seluruh keluarganya dan pejabat istana masuk Islam, Datuk Patimang tetap tinggal di Kerajaan Luwu dan meneruskan syiar Islamnya ke wilayah wilayah lain, hingga akhirnya Datuk Patimang wafat dan dimakamkan di Desa Patimang, Luwu, Sulawesi Selatan.


Adapun makam Datuk Patimang berdekatan dengan makam Petta Patimang (Raja Luwu ke-15).


Oleh :
-          HARBIYAH

Awal Mula Berkembangnya Islam di luwu


Perkembangan Islam di Luwu

·                Awal Mula Berkembangnya Islam di Luwu
           Peng-islaman di tanah luwu memeiliki karakteristik tersendiri, yakni proses masuknya islam datuk luwu melalui suatu dialog yang panjang dengan ketiga ulama tersebut, yang berakhir dengan pemahaman yang baik terhadap ajaran islam yang membuat datuk luwu akhirnya mengucapkan syahadatain. Menurut teks luwu dan wajo. Tiga mubalig yang tiba di sulawesi selatan sebelum meng-islamkan gowa, singga terlebih dahulu di daerah luwu yang pada saat itu penguasanya adalah datuk la patiware daeng para’bung (memerintah 1585-1610) yang berhasil di islamkan pada 15 Ramadhan 1013 ( atau 4 februari 1603, dua tahun sebelum gowa di islamkan ). Baginda di beri gelar Arab, sultan muhammad mudharuddin dan ketika mangkat di beri gelar matinroe ri ware’. Sebelum datu la patiware memeluk agama islam, madika bua yang bernama tandi pau opunna ware telahpun masuk islam
            Setelah memeluk islam ,kepada datuk kerajaan luwu, dimintai oleh ketiga ulama itu supaya turut giat dan bekerja sama mengembangkan agama islam di wilayah kekuasaannya. Datuk luwu menyanggupi , namun dalam penyebaran islam nanti berbenturan dengan orang portugis dan spanyol yang giat juga dalam menyebarkan agamanya. Maka baginda menyarankan kepada dato tersebut untuk menuju ke kerajaan gowa yang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang besar, suatu kerajaan yang disegani oleh bangsa bangsa asing. Tiga mubaliq tersebut mengikuti petunjuk datuk luwu menuju gowa.
            Dari tulisan beberapa islam yang pernah kita baca, bahwa yang mula-mula membawa Islam yang suci itu ke Luwu, ialah Datuk Suleman berasal dari Minangkabau pulau Sumatera. Tapi beliau lama berdiam di Johor untuk mengembangkan ilmunya.
            Beliau berangkat dari Kerajaan Johor sebagai satu missi islam atas perintah Sultan Iskandar Muda. Pada umunya missi tersebut akan berangkat langsung keselatan, akan tetapi rencana itu berubah, yakni sebelum keselatan lebih dahulu harus berlayar ketimur. Jadi missi Datuk Sulaiman lebih dahulu ke pulau Mindanau Selat Balabac di ujung Selatan Pulau Palawan. Setela beberapa waktu bertugas di Min danau, barulah missi tersebut berlayar ke Selatan mulai dari halma hera, Ternate dan terus kemaluku bagian selatan. Dari sini missi tersebut melanjutkan pelayaran ke Flores dan Sumbawa. Kemudian barulah behasil missi kepulau Sulawesi langsung ke Teluk Boni dan tiba di Pattimang (Luwu) dengan selamat. Beliau bersam dengan Datuk Ri Bandang seorang ahli fiqih sedangkan Datuk Tiro adalah seorang ahli tasauf.
            Dalam buku Suriadi Mappangara hal 120 Missi Datuk Suleman berhasil baik mengembangkan dan menanam Islam dalam kerajaan Luwu, sehingga beliau mendapat kehormatan yang setinggi-tingginya dari segala lapisan masyarakat. Kedatangan beliau ke Luwu, adalah bertepatan benar dengan masa kebesaran Aceh (Islam) di zaman pemerintahan Iskandar Muda yang menguasai seluruh Sumatera dan Johor serta sebahagian Malaka pada tahun 1607-1641 M. selain menyiarkan agama islam di luwu datu patimang juga menyebarkan agama islam di wajo.


Oleh :


HARBIYAH

Kamis, 20 Desember 2018

PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI LUWU

PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI TANA LUWU

           Setelah Raja Luwu Payung Luwu XV La Pattiware Daeng Parrebung memeluk islam, maka selanjutnya pejabat istana memeluk agama islam. Dikarenakan pada waktu itu jika Raja telah memeluk agama Islam, maka secara tidak langsung pejabat istana memeluk agama islam juga sebagai tanda kehormatan mereka kepada sang Raja. Setelah rakyat mendengar bahwa Raja Luwu Payung Luwu XV La Pattiware Daeng Parrebung memeluk Islam, maka rakyat kerajaan Luwu pun mulai menyatakan diri masuk islam secara sah. Penyebaran Islam pun dilanjutkan oleh Raja Luwu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi dan bergelar Sultan Abdullah Matinroe Ri Malangke yang menggantikan ayahandanya, Raja Luwu Payung Luwu XV La Pattiware Daeng Parrebung pada awal tahun 1604 M.
       Langkah pertama yang dilakukan oleh Raja Luwu ini adalah memindahkan ibukota kerajaan Luwu dari Malangke ke daerah Ware (sekarang Palopo). Pemindahan ibukota ini dilakukan dengan pertimabangan untuk semakin mengembangkan ajaran islam di tanah Luwu dan sekitarnya. Hal tersebut disetujui oleh seluruh pembesar kerajaan. Namun, Datuk Patimang yang saat itu juga merupakan penasehat istana lebih memilih untuk tetap tinggal dan menetap di daerah Malangke hingga meninggal dunia daripada ikut ke Ware.
Setelah Raja Luwu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi berhasil memindahkan dan membangun daerah Ware, maka dia memutuskan untuk membangun sebuah sebuah mesjid sebagai tempat ibadah. Dikarenakan sebelumnya belum ada mesjid yang berdiri di tanah Luwu.
         Kemudian Raja Luwu meminta pendapat kepada Datuk Patimang tentang idenya untuk membuat masjid tersebut. Ide tersebut pun lalu disetujui olehnya. Lalu, Datuk Patimang pun berangkat menuju Istana Luwu (Saoraja) di Ware. Sesampainya disana, maka Raja Luwu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi dan Datuk Patimang dibantu oleh Fung Man Te, yang merupakan saudagar muslim yang kaya. Kemudian mereka membuat sebuah masjid, tak jauh dari Istana Saoraja dibantu oleh rakyat kerajaan Luwu.
Setelah pembangunan selesai, maka masjid tersebut merupakan masjid pertama di Luwu difungsikan sebagai masjid istana dan masjid kerajaan. Sekarang, masjid itu kita kenal dengan Masjid Jami Tua Palopo.
Selain itu, setelah melakukan pemindahan ibukota dan pembangunan masjid, maka dilakukanlah penyebaran islam di seluruh tanah daerah bawahan kerajaan Luwu.Penyebaran Islam dilakukan lewat Syair syair pujangga yang disebut Massure’. Pada masa itu Luwu berkembang cukup pesat, karena makmur dari hasil pertanian dan hasil laut yang juga melimpah. Bahkan Jumlah penduduk saat itu mencapai 170 ribu jiwa dikarenakan banyak masyarakat pendatang.
Perkembangan Islam di tanah Luwu cukup berkembang dengan cepat dan hampir tidak ada kendala, karena sistem pengislamannya mendahulukan Raja sehingga rakyatnya pun ikut memeluk Islam. Dan selain itu, setelah Raja memeluk Islam, maka agama Islam dijadikan sebagai agama resmi kerajaan Luwu. mengalami perkembangan yang luar biasa, hingga akhirnya daerah sekitar kerajaan Luwu menjadi penduduk Islam.
    
Metode yang digunakan dalam penyebaran islam di Sulawesi-selatan :
·           Mendirikan pondok pesanten mengajarkan agama islam dan murid-murid mereka  
         meneruskannya dengan mendirikan sekolah-sekolah baru. Para penguasa setempat 
         bertindak sebagai pelindung bagi sekolah-sekolah tersebut.
·           Melalui perdagangan
·           Melalui pernikahan
·           Mendirikan mesjid umumnya terdapat di kota-kota, dan mushalla di desa-desa. 
   Kadi ditunjuk untuk hadat dan penguasa, tempat mereka bertindak sebagai hakim pengadilan agama (syariah). Imam (pengurus masjid) ditunjuk untuk wanua(masyarakat adat); dan guru (Anrong-Guru atau Anre-Guru) merupakan baik guru yang menyiarkan agama baru itu ke desa-desa maupun pejabat terendah dalam hierarki administrasi Islam. Guru menjadi anggota cabang pengadilan agama yang dikepalai Imam. Sanak kerabat kerajaan atau para bangsawan tinggi biasanya diangkat ke kedudukan kadi dan Imam. Tidak ada hierarki seperti dalam pemerintahan. Dengan demikian, tidak ada perbedaan antara aristokrasi dan para pemimpin Islam.




SUMBER :

HARBIYAH